Hanya rasa lelah yang dirasakan Mirah saat ia menjalani rutinitasnya setiap sore. Ya, setiap pukul 5 sore, ketika tempat kursus baca tulis dimana ia bekerja selama 3 tahun akan selesai pembelajaran, ia akan segera berkemas pulang. Hari itu hari Jumat dan esok hari kebetulan jadwalnya libur, maka ia sangat tidak sabar untuk segera pulang. Bertemu Mamanya yang selalu menantinya dengan senyum hangat, mengelus rambut ikalnya dan selalu bertanya bagaimana hari-harinya ia jalani. Bagi Mirah ,tidak ada hal yang paling membahagiakan selain bertemu Mamanya.
***
Ia kembali menghela nafas saat ia mengingat apa yang telah ia perbuat dua hari yang lalu kepada Mamanya. Kala itu ia sempat membentak Mamanya karena ia jenuh. Amat sangat jenuh mendengar nasehat dan pertanyaan monoton yang selalu dilontarkan Mamanya. Seperti, “Sudah makan belum?”, “Tadi bagaimana kerjanya?”, “Kapan Mirah bisa ada waktu dirumah sama Mama?”. Saat itu Mirah sangat jenuh, berhubung Mirah kuliah sambil kerja , dan saat itu tugas dari dosen terus menerus menumpuk, ditambah berbagai pertanyaan dilontarkan Mama. Mirah membentaknya. Sungguh kata-kata yang tidak pantas diucapkan kepada orang yang telah berjuang hidup dan mati demi kita. Dari mengandung, melahirkan kita bertaruh nyawa, membesarkan kita, selalu mendukung kita dan meladeni apapun tingkah kita dahulu walaupun lebih sering membuatnya kesal pula.
***
Saat itu aku melihat Mama hanya terdiam. Tak pernah aku rasakan dadaku begitu perih. Melihat raut wajah Mama yang menahan tangisnya. Mama hanya menunduk. Papa yang saat itu melihat perbuatanku segera memanggilku. Di teras saat itu hanya ada aku dan Papa. Usia Papa kurang lebih 46 tahun, namun wajahnya masih tetap segar. Bagiku Papa adalah sosok pria idaman. Aku kagum pada Papa yang bijaksana, Papa yang sangat pengertian, Papa yang setia, Papa yang ada saat Mama memerlukan sandaran, Papa yang selalu jadi contoh untuk aku dan 2 adikku. Angin sore berhembus perlahan, dingin dan menyejukkan. Suasana hatiku pun lebih tenang. Papa memulai pembicaraan.
Ia menyuruhku untuk melihat langit di arah barat. Aku menatap ke sebelah kiri. Indah… rona jingganya begitu lembut dan beberapa koloni burung seperti akan kembali ke sarangnya, bertemu induknya kah?
Papa kembali berkata perlahan, cara menasehati inilah yang sangat aku suka dari Papa. Perlahan namun aku sangat mengerti apa maksudnya. Ia mengatakan bahwa aku tidak boleh membentak Mama seperti itu, karena walaupun usiaku hampir 20 tahun, aku tetaplah buah hati Mama. Tetaplah gadis kecil bagi Mama. Tetaplah “Mirah” harapan Mama. Sejak dulu saat masih pacaran dengan Papa, Mama sangat ingin apabila memiliki anak, diberikan nama Mirah karena ia ingin anaknya seperti Batu mulia tersebut. Cantik, anggun, bersinar dan jadi kebanggan tentunya. Betapa perihnya hatiku saat mendengar cerita Papa, mengenai nenek dari Mama yang meninggal, itu yang membuat Mama terpukul dan sampai sekarang tidak pernah satu haripun melupakan nenek. Aku sama sekali tidak perah melihat nenek dari Mama, karena nenek meninggal saat usia Mama 17 tahun, aku hanya melihat wajah nenek melalui foto. Catik, sangat mirib dengan Mama.
Kembali aku ingat semua jasa Mama, kembali terbuka potret masa lalu. Aku sadar kini aku sudah dewasa. Dewasa dalam persepsiku, bukan berarti aku dewasa dalam persepsi Mama. Bagi Mama, mungkin aku hanya anak kecil, selamanya mungkin hanya anak kecil. Namun, aku berjanji pada diriku sendiri, kepada Papa, kepada Mama pula, aku akan menjadi wanita dewasa yang akan menerima segala kekurangan mereka. Dan bangga atas kelebihan mereka terutama mampu membentuk sebuah keluarga kecil yang bahagia dan membesarkan anak-anak yang tentunya akan berbakti untuk mereka.
Kembali aku lihat wajah Papa yang tenang, meski Papa masih terlihat segar, namun tidak bisa dipungkiri ada beberapa timbul raut ketuaan pada wajahnya. Umur memang tidak bisa di tahan untuk bertambah, begitu pula proses penuaan. Itu adalah hal yang alami. Kodrati. Aku kemudian bersandar di bahu Papa, aku minta maaf dan berjanji akan jadi wanita yang lebih dewasa tentunya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku sangat sayang Papa.
Saat itu juga aku pamit untuk ke dalam mencari Mama di kamarnya. Saat itu Mama sedang berbaring, ku pegang tangan Mama kemudian Mama menoleh kepadaku.
“Mama minta maaf Mirah” itu kata-kata yang terlontar dari Mama. Sungguh hatiku seperti tertusuk jarum rasanya. Seharusnya aku yang berkata demikian. Mama kemudian duduk bersandar di tempat tidur dan aku langsung memeluknya. Aku minta maaf sejadi-jadinya. Aku memang anak durhaka. Aku menangis dan semakin erat memeluk Mama. Mama baik, sangat baik. Aku bahkan ingin seperti Mama suatu saat nanti. Mama adalah contoh ibu bagiku. Mama sama sekali tidak pernah terganti. Mama hanya tersenyum lembut sambil membalas pelukanku. Ia menepuk punggungku lembut sembari mengajakku ke teras, ternyata disana tidak hanya ada Papa seperti tadi, ada 2 adik laki-lakiku rupanya. Kami yang biasanya bertengkar sepertinya saat itu sangat enggan untuk bertengkar lagi. Yang untuk moment kali ini alangkan lebih baik kami damai sejenak sepertinya…
Kembali aku lihat ke arah barat, kali ini langit berwarna agak kemerahan dan sebentar lagi akan gelap. Malam akan tiba. Kami duduk ber 5 bersama Mama, Papa dan adik-adikku. Mama pun berkata sesuatu. Kami disuruh bersama-sama menatap langit barat. Ya kami melihatnya. Untukku sudah yang ketiga kalinya hari itu. Mama mengatakan matahari di ufuk barat tersebut akan terbenam, tertidur sementara, namun esok hari akan kembali terbit demi memberikan cahaya kehidupan untuk kita semua. Apa jadinya apabila kami hidup tanpa matahari? Tentu akan gelap, hampa dan tentu kita tidak dapat melaksanakan aktifitas apapun. Seolah-olah kita jadi buta tanpa arah.
Kemudian Mama membandingkan dengan dirinya. Inilah puncak rasa bersalahku. Bagaimana kalau Mama yang bagaikan matahari tersebut, Mama sudah tua, Mama dapat terbenam kapan saja sesuai atas izin-Nya. Namun, bedanya apabila Mama terbenam, Mama tidak akan terbit lagi. Apa yang dapat kami semua lakukan apabila tanpa Mama? Apakah masih kami dapat mengingatnya saat ia sudah terbenam nanti? Aku dan adik-adik yang mengerti maksudnya tak bisa menahan air mata agar tidak menetes.
Kami sadar, Mama tiada duanya. Siapapun tidak dapat menggantikan posisi Mama sampai kapanpun. Papa saat itu membelai lembut pipi Mama, menenangkannya. Bagi kami Mama segalanya, surga kami ada di bawah telapak kaki Mama, Mama adalah peri bagi kami, ia pelindung dan selalu ada disetiap kondisi yang kami hadapi. Rasanya kami benar-benar tidak ingin kehilangan Mama sampai kapanpun.
“Teruslah hidup untuk kami Ma, kami tidak akan pernah lupa sama Mama”
“Mirah minta maaf tadi sempat membentak Mama, kali ini Mirah janji tidak akan seperti itu lagi. Mirah akan jadi Mirah kebanggan untuk Mama dan Papa”
Mama pun tidak dapat menahan tangisnya, ia sadar kalau anaknya telah tumbuh dewasa, tidak sebaiknya selalu ia dikte, tidak sebaiknya ia selalu over protected. Ia pun sadar beginilah keluarga idamannya sejak dahulu dan sudah terwujud, betapa bahagianya.
***
Saat sedang mengendarai motor sepulang kerja, Mirah merasakan ponselnya bergetar. Tanda ada panggilan masuk sepertinya, dan benar. Siapa lagi kalau bukan Mamanya. Meski mamanya sudah berjanji untuk tidak sering-sering meneleponnya namun tetap saja tetap dilakukan. Sehari paling sedikit 4 kali ia ditelepon hanya untuk ditanya sedang dimana dan apakah sudah makan. Yahhh
Tapi kali ini Mirah sama sekali tidak marah, ia sangat mengerti mengapa Mamanya demikian. Ia memberhentikan motornya, kemudian ditekannya tombol hijau pada handphonenya kemudia bicara sejenak pada Mamanya. Diperjalanan ia melihat langit sebelah barat, sangat indah… Ya, tapi ia tidak ingin melihat langit senja ini untuk terakhir kali, ia ingin langit senja yang indah ini seperti Mamanya, akan selalu ia lihat selama-lamanya. Dan akan ia jaga keindahannya.
***
- Diah Larassati